KOTORNYA TANAH ADALAH SESUAP NASI
Tanah atau sering disebut taneuh dalam bahasa sunda bagaikan teman bagi para pengrajin bata di daerah Pataruman KOTA BANJAR. Di daerah itulah dimana aku dilahirkan di tengah-tengah sentuhan keluarga yang selalu hangat yang membuatku takan melupakan asal mula diriku. Sekarang aku sedang melanjutkan sekolah di salah satu PTN di Bandung tepatnya UNPAD Fakultas Peternakan. Aku mulai hidup 3 April 1990 dilahirkan sebagai anak ke-2 dari 3 bersaudara membuat ku serasa lengkap semua kehidupanku mempunyai kedua orang tua, kakak, dan adik. Kehidupan masa kecilku begitu menyenangkan penuh dengan canda tawa, permainan, dan kesedihan mungkin itu sudah merupkan satu paket dalam kehidupan.
Sejak lahir adiku (Evi Kurnia, 29 April 2000) orang tua saya yang tadinya kerja sebagai buruh batu bata yang jauh dari rumah berpindah kerjanya dekat dengan rumah। Disitu lah aku mulai mengenal yang namanya batu bata, awal nya karena ingin membantu orang tua saya pun mencoba untuk membuat bata. Pertama yang menjadi kendala bagi saya yaitu beban batu bata, maklum waktu itu baru berumur 10 tahun. Orang tua akhirnya memperbolehkan untuk membantunya, masa anak buruh batu bata tidak bisa membuat bata......apa kata dunia!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!....................................
Tahun demi tahun terus berjalan, ekonomi keluarga ortu mulai menipis karena terus membiayai sekolah aku dan kakak (Rusadi 1977)। Kakaku sekarang sudah sukses dia bekerja disebuah perusahaan bidang peternakan (PT. CPJF) sebagai manager. Karena waktu itu perekonomian keluarga kami sedang parah, akhirnya saya selalu membantu orang tua setiap sepulang sekolah. Dari umur 10 tahun aku sudah terbiasa dengan yang namanya batu bata yang membuatku tidak canggung lagi dengan kerja keras.
Tanah yang menjadi bahan baku untuk pembuatan batu bata tidaklah gratis kami harus membelinya dari seorang penjual tanah yang dijual tiap satu mobil bak. Kemudian tanah diluluh sebutan untuk tanah yang sedang diolah menggunakan kaki yang di injak-injak, adapun cara yang lebih modern yaitu menggunakan mesin penggiling tanah. Setelah tanah itu diolah yang kemudian menjadi luluhan kemudian ibu-ibu yang ikut ambil bagian untuk membuat bata dengan cara mencetak batu bata. Ibu-ibu tersebut biasanya para janda yang bekerja untuk mendapatkan sesuap nasi. Lalu sesudah tanah liat (luluhan) itu dicetak kemudian dibiarkan agak keras sedikit yang kemudian akan diangkat (nyanden) yang disusun di sebuah candenan.
Apabila batu bata yng di candenan sudah kering maka akan diangkut ke tempat untuk membakar bata (tobong).
Sejak itulah saya kehilangan masa remaja saya karena sibuk membantu orang tua dari pulang sekolah sampai malam, anak-anak seusiaku waktu itu mungkin sedang asyik-asyiknya bermain dengan teman sebayanya. Yang menyebabkan selalu merasa minder akan teman sebaya, dan terbawa sampai saat ini. Disitulah saya sering melamun karena waktu luang bagi saya hanya malam hari sehingga jarang bergaul dengan dunia luar. Mungkin bagi dunia luar aku terlihat aneh karena apabila bertemu dengan orang lain saya lebih suka berdiam diri tidak suka berbicara dan lebih lebih sering murung.
Sebenarnya ada untungnya juga saya bekerja sebagai buruh bata, aku jarang sakit dan mendapat penghasilan sendiri. Seringku selalu mencari uang sendiri karena uang saku yang diberikan dari orang tua tidaklah cukup. Setiap ada waktu luang yaitu malam hari saya suka keluar untuk mencari pekerjaan yaitu muat (memindahkan batu bata dari tobong ke dalam mobil), menurunkan kayu dari mobil, ikut bongkar batu bata dari mobil, ikut menaikan tanah kedalam mobil, itu berlangsung sampai tengah malam sambil menyelinap keluar masuk rumah yang penting waktu itu saya bisa mendaptkan uang untuk kebutuhan saya.
(gambar batu bata yang sedang ditutup plastik di latar)
(gambar seseorang yang sedang mnyusun batu bata (nyanden)
(gambar seorang wanita yang sedang menggiling tanah menggunakan mesin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar